Irawan Asek”

Mahasiswa Magister Teknik Sistem UGM

Saya akan memulai opini ini dengan mengutip sebuah adagium Swedia: “Det finns inget skräp, bara resurser fel plats” – “Tidak ada sampah, yang ada hanya sumber daya yang salah tempat.”

Swedia selalu menjadi negara inspirasi perihal pengelolaan sampah. Negeri yang memanjang itu telah membuktikan bahwa sampah tidak hanya bisa dikelola dengan baik, tetapi juga dimanfaatkan sebagai sumber energi, bahan baku daur ulang, dan solusi inovatif lainnya.

Pada era 1980-an, Swedia menghadapi situasi yang tidak jauh berbeda dengan Indonesiasaat ini. Tempat pemrosesan akhir (TPA) yang meluap, polusi tanah dan air, serta kurangnya kesadaran masyarakat menjadi tantangan yang nyata.

Namun, alih-alih membiarkan masalah ini memburuk, Swedia mengambil langkah-langkah strategis yang pada akhirnya mengubah paradigma tentang sampah. Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah, dukungan sektor swasta, dan partisipasi aktif masyarakat, Swedia secara perlahan namun pasti menciptakan sistem yang menjadikan limbah sebagai bagian integral dari siklus ekonomi sirkular.

Indikator utama yang membuat Swedia berhasil dalam pengelolaan sampah adalah pendekatannya yang holistik. Di mana tidak hanya fokus pada teknologi dan regulasi, tetapi Swedia juga mengutamakan perubahan perilaku masyarakat. Dengan melibatkan warga dalam proses pengelolaan sampah, baik melalui edukasi maupun sistem insentif, Swedia menciptakan budaya memilah sampah yang menjadi kebiasaan sehari-hari. Saat ini, hampir setiap rumah tangga di Swedia memilah sampah mereka dengan cermat, dan 99% sampah yang dihasilkan di negara itu berhasil diolah melalui daur ulang atau diubah menjadi energi. Keren bukan?

Now, here’s the thing. Indonesia dengan potensi yang sama memiliki kesempatan emas, tetapi risiko besar bila menunda-nunda tindakan. Kita berbicara soal dua persoalan besar yang saling terkait: timbulan sampah yang terus membesar dan kebutuhan energi nasional yang tinggi. Dalam skenario itu, pendekatan Waste to Energy bukan sekedar pilihan alternatif, melainkan langkah strategis yang harus segera dijalankan.

Timbunan sampah nasional kini berada di luar kendali. Menurut Wakil Menteri Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Diaz Hendropriyono dalam pernyataannya di situs (KLH/BPLH, 2025), Indonesia menimbulkan 146 ribu ton sampah setiap hari atau sekitar 53 juta ton per tahun.

Dari jumlah itu, hanya sekitar9-10 persen yang benar-benar terkelola. Sebagian besar berakhirdi TPA yang sudah overload. Metode open dumping dan sanitary yang dominan saat ini tidak lagi berkelanjutan. Selain memakan lahan luas, TPA juga menghasilkan gas metana(CH4), gas rumah kaca yang potensinya jauh lebih berbahaya. Artinya, kita sedang menghadapi situasi darurat that it has to besolved now.

In the ohther side, Indonesia menargetkan peningkatan porsi Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional. Sampah dipandang sebagai sumber energi alternatif yang mampu menekan ketergantungan pada bahan bakar fosil sekaligus mengurangi dampak iklim. Potensi energi dari sampah di Indonesia cukup besar, meski pemanfaatannya masih tertinggal jauh dari kebutuhan. Waste to Energy muncul sebagai solusi yang menghubungkan dua agenda strategis sekaligus, yaitu perbaikan pengelolaan sampah dan diversifikasi energi nasional.

Menyadari urgensi itu, pemerintah melalui Presiden Prabowo menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan melalui Pengolahan Sampah menjadi Energi Terbarukan berbasisTeknologi Ramah Lingkungan.

Selain mempertimbangkan kedaruratan sampah sebagaimana dijelaskan di atas, salah satu poin pertimbangan ditetapkannya Perpres tersebut adalah tidak efektifnya Perpres No. 35 Tahun 2018 tentang PercepatanPembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Sampai di sini, rasanya menafikkan isi kepala jika tidak bertanya: why was the previous Presidential Decree ineffective? What was the problem? Whatever the answers, Presiden waktu itu adalah Joko Widodo.

Perpres No. 109 Tahun 2025 hadir sebagai katalis untuk mengintegrasikan pengelolaan sampah dan transisi energi, membangkitkan optimisme baru dalam mengatasi masalah klasik sampah perkotaan seperti volume tinggi, lahan TPA terbatas, dan pemilahan yang rendah. Fokus utama regulasi ini adalah percepatan proyek Waste to Energy. Namun, dalam implementasinya tentu akan menghadapi tantangan serius, terutama tingginya biaya investasi dan risiko polusi udara jika teknologi serta pengawasannya tidak memadai. Meskipun pemerintah menjanjikan insentif fiskal dan tarif listrik, kunci suksesnya tidak hanya di situ. Aspek fundamental seperti tata kelola, kapasitas teknis daerah, keterlibatan masyarakat dan swasta, transparansi pendanaan, serta akuntabilitas pengadaan harus menjadi prioritas.

Perpres ini memang lebih tegas menuntut kesiapan teknologi dan akuntabilitas lingkungan, akan tetapi jika dijalankan tanpa reformasi tata kelola sampah secara menyeluruh, proyek ini hanya akan mengulang kegagalan masa lalu dan tidak menyelesaikan akar masalah darurat sampah dan krisis iklim.

Anyway, selain infrastruktur dan regulasi, fondasi terpenting dari keberhasilan pengelolaan sampah adalah perubahan perilaku masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa tingkat pemilahan sampah rumah tangga di Indonesia masih sangat rendah. Masyarakat cenderung menganggap sampah sebagai barang yang langsung dibuang, bukan sebagai sumber daya yang masih memiliki nilai. Tanpa pemilahan di hulu, teknologi Waste to Energy di hilir hanya akan menjadi sebuah teknologi mahal yang dibebani sampah dengan kadar air tinggi dan nilai kalor rendah. Perubahan perilaku harus menjadi garda depan. Edukasi berkelanjutan, sistem insentif, serta kehadiran sanksi yang konsisten akan menjadi faktor penentu.

Selain masyarakat, produsen memiliki peran besar dalam memperbaiki siklus hidup kemasan dan produk. Skema Extended Producer Responsibility (EPR) seharusnya tidak berhenti pada pelaporan atau kontribusi dana, melainkan mendorong desain kemasan yang lebih mudah didaur ulang, pengurangan plastik sekali pakai, hingga penarikan kembali produk pasca konsumsi. Tanpa dorongan kuat pada produsen, beban sampah akan terus jatuh pada pemerintah daerah yang anggarannya terbatas. Industri harus ikut memikul tanggungjawab atas dampak lingkungannya.

Tantangan lain yang selalu muncul adalah perbedaan prioritas politik dan birokrasi antara pemerintah pusat dan daerah. Banyak daerah kesulitan mengeksekusi proyek Waste to Energy karena ketidakselarasan kepentingan, minimnya kapasitas teknis, hingga proses perizinan yang berbelit.

Setiap pergantian kepala daerah juga kerap memicu perubahan arah kebijakan. Jika inkonsistensi ini tidak dibenahi, proyek Waste to Energy akan kembali berjalan di tempat. Pemerintah pusat perlu memastikan dukungan yang nyata kepada daerah, mulai dari pembiayaan, penyederhanaan prosedur, hingga peningkatan kompetensi teknis.

Waste to Energy yang ditujukan untuk menangani sampah perkotaan bukanlah solusi tunggal yang dapat menuntaskan seluruh persoalan sampah di Indonesia. Sebaliknya, Waste to Energy merupakan komponen penting dalam strategi terpadu pengelolaan sampah modern.

Oleh karena itu, ekosistem pendukungnya harus dibangun secara holistik dan utuh. Ini mencakup perubahan perilaku masyarakat, penerapan tanggung jawab produsen melalui skema EPR, serta konsistensi kebijakan dan tata kelola dari pemerintah pusat hingga daerah. Tanpa elemen-elemen tersebut, penerapan teknologi hanya akan menyisakan masalah baru, dan sampah akan selamanya menjadi sampah, alih-alih menjadi sumber daya yang bernilai.***